Kamis, 04 Juli 2013

Karya Tulis Ilmiah " BUTA HURUF"



Kata Pengantar
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt., karena atas ridhonyalah penulis dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah bahasa Indonesia yaitu membuat makalah yang bertemakan bahasa Indonesia mencerdaskan kehidupan bangsa dan penulis memberi judul “Memberantas Buta Aksara Dalam Rangka Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.”
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak menemukan hambatan, tetapi penulis dapat menyelesaikannya tepat waktu karena penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak dan sumber. Atas bantuannya penulis ucapkaan terimakasih.
Penulis hanyalah manusia biasa yang tak sempurna dan kadang salah, demikian juga dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mohon kritik dan saran yang membangun untuk menyempurnakan makalah ini sangant penulis harapkan untuk memperbaiki kualitas makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat berguna khususnya bagi penulis dan umumnya bagi kita semua yang membacanya.




Jember, 16 Juni 2013
                                                                     
  Penulis
 
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL                                                                                                
KATA PENGANTAR                                                                                               
           DAFTAR ISI                                                                                                  

BAB 1 PENDAHULUAN   
1.1  Latar Belakang
1.2  Rumusan Masalah   
1.3  Tujuan Penelitian                                                                                
1.4  Definisi Istilah                                                                              
1.5  Manfaat Penelitian                                                                        
1.6  Ruang Lingkup                                                                             
BAB 2 KAJIAN PUSTAKA                                                                                          
2.1 Membaca dan Menulis dalam Ilmu Pengetahuan                         
 2.2 Membaca dan Menulis dalam Pembangunan Nasional                       
2.3 Membaca dan Menulis dalam Komunikasi                                   
2.4 Membaca dan Menulis dalam Pembinaan Persatuan                    
BAB 3 METODE PENELITIAN
            3.1 Teknik Pengumpulan Data
            3.2 Metode Pengumpulan Data
BAB 4 PEMBAHASAN
            4.1 Sebab Buta Huruf    
            4.2Pemberantasan Buta Aksara melalui pendidikan Formal
            4.3 Pemberantasan Buta Aksara melalui pendidikan Non-Formal
            4.4Pembinaan Lebih Lanjut Kemampuan Membaca-Menulis   
BAB 5 PENUTUP
            5.1 Kesimpulan
            5.2 Saran     
DAFTAR RUJUKAN

 


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Buta huruf dalam arti buta bahasa Indonesia, buta pengetahuan dasar yang dapat menunjang kehidupan sehari-hari, buta aksara dan angka, buta akan informasi kemajuan teknologi, merupakan beban berat untuk mengembangkan sumberdaya manusia yang berkualitas dalam arti mampu menggali dan memanfaatkan peluang yang ada di lingkungannya (Umberto Sihombing, 2001)
      Tentang pengertian buta huruf menurut Umberto Sihombing (2001) adalah merupakan kelompok masyarakat yang tidak mungkin mendapatkan pelayanan pendidikan sekolah karena sebagian besar mereka telah berusia lanjut, sedangkan usia sekolah pada umumnya sudah masuk jalur persekolahan, mereka pada umumnya berasal dari keluarga miskin yang tidak mampu memikul biaya pendidikan yang diperlukan.
      Menurut Mukhamat Muhsin (2006), pemberantasan buta aksara (PAB) merupakan salah satu program pendidikan pada jalur nonformal yang saat ini sedang dilaksanakan menjadi bagian integral dari upaya pemerintah untuk mengentaskan masyarakat dari kebodohan, kemiskinan, keterbelakangan dan ketidakberdayaan. Program ini bertujuan agar penyandang buta aksara memperoleh keterampilan dasar untuk baca, tulis, hitung serta mampu berbahasa Indonesia, memperoleh keterampilan- keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupannya.
      Metode pendekatan belajar keaksaraan  menurut Mokhamat Muhsin (2006), konon dikembangkan atas dasar pemikiran bahwa karakter atau orientasi belajar orang dewasa lebih bersifat praktis dan fungsional serta sesuai dengan potensi dan kebutuhan belajar mereka. Oleh karena itu, penyelenggaraan program keaksaraan fungsional tidak semata-mata memberikan kemampuan baca, tulis, hitung serta kemampuan berbahasa Indonesia dan berpengetahuan dasar  akan tetapi lebih jauh memberikan keterampilan-keterampilan fungsional yang bermakna bagi kehidupan warga belajar sehari-hari sehingga mereka mampu meningkatkan kehidupannya.
Masih banyaknya buta huruf ini antara lain disebabkan adanya pertambahan penduduk buta huruf  baru yang belum dicacah sebelumnya, adanya penduduk yang putus belajar sekolah dasar menjadi buta huruf kembali karena ketidakadaan bahan bacaan yang memadai dalam arti yang mampu membangkitkan minat baca masyarakat, luas wilayah pelayanan dan sulitnya transportasi mengakibatkan banyak warga masyarakat yang belum terlayani ( Umberto Sihombing, 2001).
Selain itu, banyaknya buta huruf disebabkan antara lain karena warga belajar masih malu dan belum tahu manfaat nyata mengikuti pembelajaran. Mereka pada umumnya sibuk bekerja mencari nafkah sehingga tidak memiliki waktu untuk belajar, (Mokhamat Muhsin, 2006).
      Keberadaan penduduk penyandang buta aksara terkadang menjadi baban bagi pejabat di daerah seperti kepala desa dan camat, kemungkinan karena malu kalau wilayahnya di ketahui, banyak penyandang buta aksara. Masih banyak pejabat yang enggan memberikan ijin dan akses pendataan sehingga data penduduk buta aksara dinyatakan nihil.
       Terbatasnya jumlah modul dan bahan ajar serta kesempatan mengikuti pelatihan menyebabkan para tutor mengalami kesulitan memulai dan mengelola proses pembelajaran. Serta masyarakat yang sudah usia lanjut kadang tidak mengerti jika tutornya mengunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam proses pembelajaran. Maka dari itu, dalam karya tulis ini nantinya akan dibahas mengenai pentingnya penggunaan bahasa daerah sebagai model pembelajaran yang inovatif dan aspiratif agar masyarakat bisa lebih mudah memahami suatu materi pembelajaran yang disampaikan oleh tutor. Tak hanya itu, dalam karya tulis ini nantinya juga akan dibahas tentang hal-hal yang dapat menghambat kinerja program keaksaraan fungsional dan cara mengatasinya serta peran pentingnya mahasiswa dalam memberantas buta aksara.
1.2  Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian buta huruf ?
2.      Bagaimana gejolak buta huruf di Indonesia ?
3.      Bagaimana cara penyelesaian buta huruf ?
4.      Apa kendala yang dihadapi dalam memberantas buta huruf ?
5.      Apa contoh upaya nyata yang dilakukan pemerintah Indonesia ?

1.3  Tujuan Penelitian
1.    Mengetahui pengertian buta huruf.
2.      Mengetahui gejolak buta huruf di Indonesia.
3.      Faktor-faktor Yang Membuat Seseorang Buta Aksara
4.      Mengetahui kendala yang dihadapi untuk memberantas buta aksara.
5.      Mengetahui contoh upaya nyata yang dilakukan pemerintah Indonesia.

1.4  Definisi Istilah
Buta Huruf
Buta huruf adalah ketidakmampuan membaca dan menulis baik bahasa Indonesia maupun bahasa lainnya. Buta aksara juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara. Dalam perkembangan saat ini kata buta aksara diartikan sebagai ketidakmampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca-tulis, sehingga dapat menjadi bagian dari masyarakat tersebut.
Kendala
Kendala adalah halangan atau rintangan untuk mencapai sasaran .
Bangsa
Bangsa adalah suatu kelompok manusia yang dianggap memiliki identitas bersama, dan mempunyai kesamaan bahasa, agama, ideologi, budaya, dan/atau sejarah. Mereka umumnya dianggap memiliki asal-usul keturunan yang sama. Konsep bahwa semua manusia dibagi menjadi kelompok-kelompok bangsa ini merupakan salah satu doktrin paling berpengaruh dalam sejarah. Doktrin ini merupakan doktrin etika dan filsafat, dan merupakan awal dari ideologi nasionalisme.
1.5   Manfaat
Dalam hal kemanfaatan, program pemberantasan buta aksara bermanfaat bagi masyarakat dalam hal :
1. Menumbuhkan minat, kecintaan, dan kegemaran membaca, menulis, dan berhitung,
2. Memperkaya pengalaman belajar dan pengetahuan bagi masyarakat,
3. Menumbuhkan kegiatan belajar mandiri,
4.  Membantu pengembangan kecakapan membaca, menulis, berhitung, dan berkomunikasi,
5. Menambah wawasan tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta
6. Meningkatkan pemberdayaan masyarakat.

1.6  Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang di atas, penyusun menuliskan ruang lingkup masalah sebagai berikut.
Buta huruf adalah ketidakmampuan membaca dan menulis baik bahasa Indonesia maupun bahasa lainnya. Buta huruf  juga dapat diartikan sebagai ketidakmampuan untuk menggunakan bahasa dan menggunakannya untuk mengerti sebuah bacaan, mendengarkan perkataan, mengungkapkannya dalam bentuk tulisan, dan berbicara. Dalam perkembangan saat ini kata buta huruf diartikan sebagai ketidakmampuan untuk membaca dan menulis pada tingkat yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain, atau dalam taraf bahwa seseorang dapat menyampaikan idenya dalam masyarakat yang mampu baca-tulis, sehingga dapat menjadi bagian dari masyarakat tersebut. Memberantas buta huruf ,berarti kita ikut mencerdaskan kehidupan bangsa.
                                                                         
                                                                          BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Membaca dan menulis dalam Ilmu Pengetahuan 
“ILMU bagaikan binatang liar dan menulis adalah tali pengikatnya. Ikatlah hewan buruanmu dengan tali yang kuat. Adalah bodoh sekali jika anda memburu seekor kijang, kemudian anda lepaskan begitu saja tanpa tali pengikat.” (Imam Syafi’ie).
Itulah ungkapan Imam Syafi’ie yang bermakna jika ilmu yang kita miliki tidak dijaga dalam bentuk tulisan, maka akan mudah lari meninggalkan kita, ibarat binatang liar yang lari tanpa diikat.
Terlepas dari “hitam putihnya” keputusan Dirjen Dikti tentang keharusan mahasiswa S1, S2 dan S3 untuk mempublikasikan karya ilmiahnya. Pada dasarnya, menulis adalah “kewajiban” bagi siapa saja yang berilmu, karena menulis adalah menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan (berdakwah) dan menjaga keutuhan ilmu itu sendiri. Membudayakan menulis pada masyarakat tidak mesti karena pengaruh keputusan Dikti. Seandainya saja tidak ada keputusan tersebut, kegiatan menulis juga harus diaktifkan kepada setiap jenjang pendidikan. Bahkan harus sudah diajarkan secara signifikan kepada mereka yang masih di sekolah dasar. Sehingga menulis menjadi sebuah budaya dan bukan hanya sekedar peraturan yang akan mudah menghilang seiring berubahnya keputusan.
Budaya menulis sudah dipraktikkan oleh ulama-ulama terdahulu dalam Islam disamping kewajiban membaca, menulis memiliki peran yang sangat penting dalam sejarah kejayaan umat Islam. Sehingga banyak buku-buku hasil tulisan para ulama terdahulu masih mempengaruhi dunia sampai saat ini, masih bisa dibaca, dipelajari dan menjadi rujukan oleh seluruh umat manusia. Bahkan hasil karya mereka menjadi pengganti mereka dalam menyampaikan ilmu kepada kita, seolah-olah mereka masih hidup.
·          Kekuatan tulisan
Itulah kekuatan dari sebuah tulisan. Tulisan juga mampu membangkitkan semangat perjuangan dan mempengaruhi pandangan seseorang. Sebagai contoh: buku tentang perjuangan soekarno akan mampu menanamkan sikap nasionalisme dan ideologi marhaenisme bagi pembaca, apalagi tersihir dengan kata-kata dahsyatnya. Buku Hasan Al-Banna akan mampu mempengaruhi perjuangan pergerakan Islam Ikhwanul Muslimin, dan buku Karl Marx bepengaruh terhadap perkembangan ideologi komunisme.

Ada beberapa alasan mengapa menulis menjadi menakutkan di kalangan masyarakat kita, seperti alasan kurangnya pengetahuan tentang menulis, takut salah, takut dikritik, dan hilang ide saat menulis. Di kampus, misalnya, organisasi pergerakan mahasiswa, masih kurang efektif dalam hal pengasahan skill menulis, kemampuan berorasi dan mengemukakan pendapat saat “aksi” lebih tumbuh subur dan berkembang dari pada “beraksi” melalui pena.

Pada hakikatnya, kritikan dan pendapat yang disuarakan mahasiswa akan sangat efektif jika disuarakan melalui tulisan. Sebagai contoh: Sepuluh aktivis yang mampu mengemukakan pendapat lewat tulisan akan lebih berpengaruh dari pada lima puluh orang beraksi di jalan. Namun, bagaimanapun juga, setiap orang memiliki hak mengemukakan pendapat dengan berbagai cara sesuai dengan tujuan mereka sendiri.

Tidak bisa dipungkiri bahwa berbagai kemunduran umat Islam dewasa ini bisa dipastikan karena kebiasaan menulis dan membaca yang pernah dipopulerkan oleh para ulama terdahulu telah kitatinggalkan. Sehingga ilmu yang telah didapatkan dengan sangat mudah, juga akan sangat mudah menghilang ibarat binatang liar tanpa ikatan. Belum lagi dengan miskinnya budaya iqra’ (membaca) pada masyarakat kita yang mempengaruhi miskinnya pengetahuan untuk menulis.

Membaca dan menulis adalah suatu ikatan yang tidak bisa dipisahkan, menulis tanpa membaca sama saja seperti membaca tanpa menulis. Menulis adalah intisari dari apa yang kita baca, karena tanpa membaca kita tidak akan mampu menulis. Membaca tidak hanya dalam bentuk tulisan, tetapi bisa saja warna, gambar, suasana dan realita yang terjadi di sekitar kita. Begitu juga, jika membaca tanpa menulis, ilmu yang telah kita kuasai akan mudah lari meninggalkan kita seperti perkataan Imam Syafi’ie tentang binatang liar.

Jadi, membaca dan menulis adalah rotasi perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak bisa dipisahkan, bagaikan istilah adat dan ranup (sirih) bagi orang Aceh. Jika aktivitas menulis dan membaca pasif dan terhenti, maka rotasi ilmu juga akan terhenti dan akhirnya mati. Datanglah dunia kegelapan tanpa ilmu pengetahuan, apalagi seiring dengan meninggalnya para ulama, ilmuan, dan guru-guru kita. Tanpa adanya ilmu yang mereka tinggalkan dalam bentuk tulisan, maka warisan keilmuan dari mereka juga akan hilang.
·          Kemampuan literasi
Dalam hal membaca, sangat disayangkan, kemampuan literasi membaca kita masih di bawah rata-rata. Laporan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Badan Penelitian dan Pengembangan atas Survey Internasional PIRLS (Progress in International Reading Literacy Study), yaitu studi internasional tentang literasi membaca terhadap siswa sekolah dasar (SD) kelas enam, dari 45 negara yang mengikuti program ini pada 2006, Indonesia berada pada peringkat 41 dalam prestasi literasi membaca, berada jauh di bawah 40 negara lain. Begitu juga dengan PISA (Programme for International Students Assessment), dari 65 negara yang mengikuti program ini pada tahun 2009, kemampuan membaca siswa Indonesia jauh tertinggal pada peringkat 57. (Sumber: Litbang Kemendiknas) Kembali pada hal menulis, secara tidak sadar setiap hari kita telah menulis, paling tidak menulis SMS (short messege service), E-mail, Facebook, ataupun Twitter. Seyogianya, dengan adanya media seperti jejaring sosial tersebut, bisa dimanfaatkan untuk media menulis. Mari kita menulis, menjadi “kuli tinta” kebaikan adalah berdakwah secara qalam (pena). Menulis adalah intrepretasi dari sifat tabligh Rasulullah (menyampaikan), yang kemudian diberengi dengan sifat siddiq (kejujuran) dalam menulis dan menyampaikan, kejujuran dalam pemberitaan bagi wartawan, kejujuran dari sifat plagiarisme bagi mahasiswa, dan kejujuran dalam menyampaikan ilmu pengetahuan bagi guru dan dosen, amanah (terpercaya), sebagai pendakwah secara qalam, penulis juga harus menyelaraskan tulisan dengan perbuatannya sehingga tidak bertolak belakang perbuatan dengan perkataannya dalam tulisan, dan terakhir fathanah (cerdas), menulis dengan cerdas serta dibarengi dengan pengetahuan iqra’ sebelumnya, sehingga tidak terjadi “penamu harimaumu”.
Mari kita membaca, sebagai jendela pembuka cakrawala, kunci kejayaan sebuah bangsa, jembatan penghubung kebuntuan ilmu dan cahaya penerang dalam kegelapan pengetahuan. Mengapa harus takut menulis? Menulis adalah berbicara melalui pena, jika kita mampu berbicara melalui mulut, tentu juga bisa melalui pena. Mengapa harus malas membaca? Membaca adalah landasan sikap bijaksana.
Jika semakin banyak manusia membaca dan menulis, semakin berkembang pula ilmu pengetahuan
di dunia ini. Mari kita jadikan membaca dan menulis sebagai sebuah kebutuhan, bukan hanya sekadar selingan dan peraturan. Apalagi, membaca adalah perintah utama agama sebagaimana firman Allah swt dalam Alquran (Surat: Al-‘Alaq).
2.2 Membaca dan menulis dalam Pembangunan Nasioanal
Sebuah kata bijak mengatakan, “Bangsa besar adalah bangsa yang menulis”. Berdasarkan kata bijak tersebut tampaknya bangsa Indonesia cukup sulit untuk menjadi bangsa besar. Hal ini dapat dilihat dari budaya tulis (writing culture) bangsa Indonesia yang sangat rendah. Rendahnya budaya tulis barangkali terasa wajar jika dialami oleh masyarakat awam saja. Namun, yang paling menyedihkan adalah kenyataan bahwa kaum intelektual seperti siswa SMA, mahasiswa, dan dosen juga menderita penyakit budaya tulis yang parah.
Budaya membaca dan menulis masyarakat Indonesia sekarang jauh menurun jika dibandingkan dengan masa penjajahan Belanda. Ketika mendapat anugerah Habibie Award 2007 untuk bidang budaya, penyair Indonesia Taufik Ismail  mengatakan, ”Siswa setingkat SMA di masa penjajahan Belanda, selama tiga tahun sekolahnya, wajib membuat 106 tulisan dan membaca 25 buku sastra yang terdiri atas empat bahasa yaitu bahasa Inggris, Belanda, Jerman, dan Perancis. Sekarang anak SMA rata-rata hanya membuat satu tulisan dalam satu tahun. Memprihatinkan sekali”. Anjloknya budaya baca dan tulis ini, lanjut Taufik, mulai terjadi ketika pemerintah cenderung memprioritaskan pembangunan fisik. Akibatnya, bacaan sastra dianggap tidak penting.
Di tingkat perguruan tinggi, rendahnya minat mahasiswa pada bidang tulis menulis berakar pada rendahnya minat baca (reading habit). Bahkan, yang lebih menyedihkan lagi, semakin banyak mahasiswa yang berkuliah dengan modal otak kosong (blank brain). Mereka jarang sekali membaca buku teks, karena di rumah atau tempat kost tidak memiliki buku teks, dan juga tidak memiliki kartu anggota perpustakaan. Mereka lebih senang cangkrukan atau begadang daripada membahas bahan perkuliahan. Dapat dibayangkan seperti apa nasib bangsa Indonesia pada 10 atau 20 tahun mendatang, jika generasi muda yang sering mengaku sebagai agent of change (agen pembaharuan) dan agent of development (agen pembangunan) itu jarang sekali membaca dan tidak suka menulis.
Seperti kata pepatah, “dosen kencing berdiri, mahasiswa kencing berlari”, rendahnya budaya tulis mahasiswa berhubungan dengan rendahnya budaya tulis dosennya. Dalam hal ini Indonesia harus mengaku kalah dengan negara tetangga Malaysia. Data tahun 1997 menyebutkan bahwa di Malaysia rata-rata terbit sekitar 6.000 sampai 7.000 judul buku per tahun, sementara Indonesia baru mampu menerbitkan sekitar 4.000 sampai 5.000 judul buku per tahun. Padahal, jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat jumlah penduduk Malaysia. Idealnya, setiap tahun Indonesia menerbitkan 10 kali lipat terbitan Malaysia, yaitu 60.000 sampai 70.000 judul buku, atau kurang lebih sejumlah dosen yang berkualifikasi magister (61.889 orang) dan doktor (12.081 orang) pada PTN dan PTS di Indonesia. Artinya, untuk mengejar Malaysia saja, setiap dosen di Indonesia setiap tahun harus menulis satu buku. Sebuah kata bijak menyatakan, “All lecturers are the same, until one of them writes a book”. (Semua dosen adalah sama, sampai satu di antara mereka menulis buku).
Lemahnya ketrampilan menulis di kalangan dosen pernah dicermati 14 tahun yang lalu melalui sebuah penelitian di kampus Bloomington, Indiana AS. Mayoritas responden yang terdiri mahasiswa S1, S2, dan S3 menilai bahwa secara umum pendidikan nasional Indonesia tidak membekali (maha)siswa dengan kemampuan menulis paper (75%), tidak mengajari mereka kemampuan berpikir kritis (68%), dan bagi mereka (75%), menulis paper merupakan tugas akademik paling sulit. Berdasarkan bukti-bukti tersebut, dapat disimpulkan bahwa sampai kini pendidikan Indonesia dari SD sampai PT belum mengajarkan ketrampilan menulis. Lemahnya budaya membaca dan menulis dalam dunia pendidikan merupakan persoalan mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia. Hal ini pula yang menyebabkan perguruan tinggi di Indonesia mandul dalam menghasilkan karya intelektual bermutu.
2.3 Membaca dan Menulis dalam Komunikasi
·         Menulis Sebagai Ilmu Komunikasi
Apa yang harus kita lakukan adalah  mencapai keseimbangan itu dengan menulis sebanyak kita berbicara,  mendengar dan membaca.

Mengapa toko buku tak pernah sepi dari pengunjung? Mengapa sepatah dua  patah kata dari para tokoh dan selebriti selalu diharapkan dalam  setiap event? , Mengapa kursus bahasa Inggris dan ilmu komputer begitu  laris? , Mengapa iklan di media massa dipandang sebagai cara efektif  untuk mendongkrak penjualan?, Mengapa narasumber tertentu begitu  sibuknya menjawab pertanyaan konsultasi atau memberikan seminar dan  pelatihan?, Kuncinya adalah fakta bahwa setiap orang secara alamiah  sangat menghargai kemampuan berkomunikasi!

Jika kita cermati, kemampuan berkomunikasi dikembangkan dari empat
modal pokok yaitu:


- Listening atau mendengar;

- Speaking atau berbicara;

- Reading atau membaca; dan

- Writing atau menulis.

Perhatikan bahwa empat modal dasar di atas tidak pernah berdiri  sendiri. Perhatikan pula bahwa urut-urutannya tidak bisa ditentukan  dengan ranking. Anda pasti yakin bahwa sekalipun writing atau menulis  dalam modal dasar di atas diletakkan di baris akhir, keberadaannya  harus tetap merupakan satu kesatuan dengan modal dasar lainnya secara  proporsional dan berimbang. Apa yang harus kita lakukan adalah  mencapai keseimbangan itu dengan menulis sebanyak kita berbicara,  mendengar dan membaca. Anda bisa mencapai apa yang Anda cita-citakan  dalam karir, enterpreunership dan leadership hanya jika Anda memiliki  bekal yang lengkap. Salah satunya, adalah kemampuan menulis.

·         Mengapa harus Menulis?
Dalam berkomunikasi lisan, kita menyampaikan ide kepada orang lain.  Komunikasi itu hanya akan berjalan dengan baik jika apa yang hendak  disampaikan memang bisa tepat sama dengan apa yang dipersepsi oleh  pihak penerimanya. Dalam menulis, kata-kata adalah batu bata dalam berkomunikasi yang memiliki fungsi sama. Berbicara kepada anak-anak  membutuhkan bahasa lisan yang bisa dimengerti dan dipahami oleh  anak-anak. Berbicara kepada orang tua dari kaum profesional menuntut  hal yang sama. Begitu pula dengan menulis. Jika Anda sudah berbicara seumur hidup Anda, maka Anda sangat mungkin tidak menghadapi kendala  dalam berkomunikasi lisan. Akan tetapi, jika akumulasi aktivitas  menulis Anda hanya 3 tahun sementara usia Anda sudah 25 tahun atau  lebih, maka Anda sangat mungkin mengalami berbagai kesulitan dalam berkomunikasi secara tertulis. Sebabnya hanya satu, jam terbang Anda  dalam menulis masih terhitung rendah. Maka sekali lagi, kita tidak  punya pilihan lain kecuali mencoba untuk menulis sebanyak kita  membaca, sebanyak kita mendengar dan sebanyak kita berbicara.

Formulir, laporan, proposal, hasil pertemuan, perjanjian, pernyataan,  research memo, judicial review dan sebagainya jelas menuntut keahlian  menulis yang baik. Itu artinya perlu latihan, brainstorming dan  diskusi. Salah satu media latihan yang terbaik adalah menulis di  berbagai media seperti jurnal, majalah, surat kabar dan sebagainya  atau bahkan menulis buku. Maka, menulis menjadi bagian tak terpisahkan  dari profesi seseorang.

Francis Bacon (filsuf Inggris yang disebut sebagai Bapak Ilmu  Pengetahuan Modern) mengatakan "reading maketh a full man, conference  a ready man, and writing an exact man". Oleh sebab itu, pengetahuan  dan keahlian seseorang akan dapat dikembangkan dengan akurat dan  efektif melalui kegiatan menulis dari pada sekedar membaca atau  berdiskusi saja.

2.4 Membaca dan Menulis dalam Pembinaan Persatuan
Sejak ditetapkan sebagai bahasa persatuan pada tanggal 28 Oktober 1928, bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan. Lebih-lebih setelah pemerintah secara resmi mengangkatnya sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, pemakaian bahasa Indonesia menjadi lebih luas. Bahkan, hampir semua bidang kehidupan di negeri ini menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar perhubungan.

Sebagai alat komunikasi dan interaksi, bahasa Indonesia tidak mungkin menghindari kontak dengan bahasa-bahasa lain, termasuk dengan bahasa daerah. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa bahasa daerah yang ada di negeri kita ribuan jumlahnya. Demikian pula masuknya bahasa asing sebagai konsekuensi perkembangan global, tidak mungkin kita hindari. Justru bahasa daerah dan bahasa asing tersebut dapat memperkaya bahasa Indonesia terutama dari segi perbendaharaan kata (Badudu, 1979:7). Sungguhpun bahasa Indonesia diperkaya oleh bahasa lain, tetapi tidak sampai pada segi struktur bahasa. Karena itu bahasa Indonesia tetap dapat menunjukkan jati dirinya (Warsiman, 2007:1-2).
Dalam upaya pembinanaan dan pengembangan bahasa Indonesia, sejak tahun 1938 hingga dewasa ini setidaknya telah delapan kali kongres bahasa diselenggarakan. Kebijaksanaan pembakuan bahasa, pedoman peristilahan, pedoman penyerapan dan sebagainya, terus dilakukan agar bahasa Indonesia mencapai kesempurnaan dan dapat menunjukkan jati dirinya.



BAB III
METODE PENELITIAN

3.1  Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Deskriptif Studi Dokumenter (Documentary Study) Studi dokumenter merupakan suatu teknik pengumpulan data dengan menghimpun dan menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis,gambar maupun elektronik. Dokumen yang telah diperoleh kemudian dianalisis (diurai), dibandingkan dan dipadukan (sintesis) membentuk satu hasil kajian yang sistematis, padu dan utuh. Metode dokumentasi yaitu mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Dibandingkan dengan metode lain, maka metode ini agak tidak begitu sulit, dalam arti apabila ada kekeliruan sumber datanya masih tetap, belum berubah. Dengan metode dokumentasi yang diamati bukan benda hidup tetapi benda mati. Dalam menggunakan metode dokumentasi ini peneliti memegang check-list untuk mencari variabel yang sudah ditentukan. Apabila terdapat/muncul variabel yang dicari, maka peneliti tinggal membubuhkan tanda check atau tally di tempat yang sesuai. Untuk mencatat hal-hal yang bersifat bebas atau belum ditentukan dalam daftar variabel peneliti dapat menggunakan kalimat bebas.

1.1    Metode Pengumpulan Data
Studi Dokumentasi, yaitu dengan mengumpulkan data dan informasi dari buku - buku, internet, dan skripsi yang berkaitan dengan penelitian.


                                                                            BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Penyebab Buta Huruf
Faktor-faktor yang membuat seseorang menjadi buta aksara, diantaranya:
1. Penyebab buta aksara yang terjadi di Indonesia adalah karena mereka tidak pernah bersekolah sama sekali atau putus sekolah yang disebabkan oleh banyak faktor yang diantaranya adalah faktor budaya, sosial, politik, ekonomi, dan gender.

2.  Kemiskinan.
Kemiskinan adalah faktor utama yang membuat seseorang menjadi buta aksara karena untuk makan sehari-hari juga masih sulit apalagi untuk mengenyam bangku sekolah,  meskipun sekarang sudah yang namanya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tapi dana tersebut banyak di korupsi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.

3. Jauh dengan layanan pendidikan.
Layanan pendidikan yang jauh juga menjadi faktor seseorang menjadi buta aksara, contohnya saja di daerah pedalaman atau daerah terpencil sangat jauh ke sekolah dasar sekalipun, apalagi ke sekolah lanjutan. Mereka yang di daerah terpencil harus berangkat pagi-pagi sekali atau jam lima pagi karena jarak rumahnya dengan sekolah sangat jauh.

4.Orang tua menganggap bahwa sekolah itu tidak penting.
Orang tua menganggap bahwa sekolah adalah perbuatan yang sia-sia, tidak penting dan lebih
baik menyuruh anak mereka untuk membantu berladang, berternak, berjualan,menggembalaa hewan, atau bahkan mereka mereka menyuruh anak mereka untuk mengemis atau ngamen di jalan.
4.2 Pemberantasan Buta Huruf Melalui Pendidikan Formal
mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan sebagaimana yang diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 serta diatur lebih lanjut dalam Pasal 31, maka Pemerintah telah melakukan pembangunan di bidang pendidikan baik melalui jalur pendidikan formal maupun pendidikan nonformal. Di samping pembangunan gedung-gedung sekolah, pengadaan guru serta sarana/prasarana pendidikan lainnya, upaya peningkatan mutu bangsa Indonesia dilakukan secara nasional dengan menerapkan Program Wajib Belajar  Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Enam Tahun mulai tahun 1984 dan ditingkatkan menjadi Wajar Dikdas Sembilan Tahun dalam tahun 1994. Di lain pihak, dilakukan pula gerakan pemberantasan buta huruf terhadap mereka yang berusia 10 tahun ke atas dan yang tidak memperoleh kesempatan belajar di jalur pendidikan formal karena berbagai kendala. Program Pemberantasan Buta Huruf (PBH) ini dilanjutkan pula dengan Program Kejar Paket A dan Keaksaraan Fungsional (KF). Sampai dengan tahun 2006, upaya Pemerintah bersama-sama masyarakat dalam memberantas buta aksara telah  berhasil menurunkan tingkat buta aksara pada berbagai kelompok umur. Oleh karena besarnya jumlah penduduk Indonesia, gerakan pemberantasan buta aksara akan terus ditingkatkan dari waktu ke waktu.   Berdasarkan data  Education for All Global Monitoring Report tahun 2005, populasi  buta huruf di Indonesia  masih berkisar 18,4 juta orang yang berarti merupakan negara yang ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar di dunia. Dengan program dan gerakan yang terencana dan terpadu, Pemerintah bersama semua unsur masyarakat diharapkan dapat bekerja sama melaksanakan gerakan pemberantasan buta aksara sehingga tuntas dalam beberapa tahun yang akan datang.
Keberhasilan Pemerintah dan masyarakat memberantas buta aksara dan meningkatkan jumlah penduduk Indonesia yang memiliki kemampuan membaca, menulis, dan berhitung perlu terus dibina dan ditingkatkan, khususnya bagi mereka yang merupakan aksarawan baru dan yang  sudah keluar dari jalur pendidikan formal. Ketiga kemampuan dasar itu sangat diperlukan untuk memperoleh dan mengembangkan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni serta meningkatkan akhlak manusia sepanjang hidupnya. Ketiga kemampuan itu juga merupakan modal dasar bagi setiap orang untuk dapat belajar secara mandiri membangun dirinya sendiri memperbaiki tingkat kehidupannya sehingga dapat hidup layak, sehat dan mempunyai harapan hidup yang lebih panjang.
Membaca merupakan salah satu cara manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan dalam berbagai bidang untuk memperbaiki mutu hidupnya sesuai dengan perbaikan dan kemampuan intelektual dan spiritualnya. Berbagai tokoh dan ilmuwan memperoleh keberhasilan dalam hidupnya melalui membaca berbagai sumber. Membaca menjadi salah satu kebutuhan yang perlu dipenuhi dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia yang ingin berkembang cepat dan maju, baik secara spiritual, intelektual, maupun fisik.
4.3 Pemberantasan Buta Huruf Melalui Pendidikan Non-Formal
Pembudayaan masyarakat menjadi tidak hanya gemar bahkan gandrung membaca memerlukan upaya yang sungguh-sungguh baik dari pihak Pemerintah maupun masyarakat sendiri. Mengembangkan dan meningkatkan kegemaran membaca terkait dengan bahan pustaka sehingga gerakan nasional gemar membaca menjadi tugas dan tanggung jawab Perpustakaan Nasiona (RUU Perpustakaan, Pasal 17). Akan tetapi  belajar untuk mampu dan terampil membaca sehingga menjadi kebiasaan individual serta pada gilirannya menjadi budaya masyarakat tidak dapat dipisahkan dari proses pembelajaran di lembaga pendidika formal dan nonformal. Oleh karena itu dalam pengembangan organisasi Departemen Pendidikan Nasional pada tahun 2005, Pemerintah membentuk unit kerja di lingkungan Ditjen Pendidikan Luar Sekolah yang bertugas mengembangkan budaya baca masyarakat melalui Taman Bacaan Masyarakat (TBM)  sebagai sumber informasi dan pusat pembelajaran masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah pedesaan dan kawasan miskin perkotaan. Sedangkan satuan pendidikan formal berperan membina dan mengembangkan kegemaran membaca peserta didik melalui perpustakaan yang ada di satuan pendidikan itu. Dalam pendidikan keluarga, para orang tua harus mendorong anak-anaknya banyak membaca.
4.4 Pembinaan Lebih Lanjut Kemampuan Membaca-Menulis
Membaca dan menulis mempunyai hubungan sangat erat. Kalau di ibaratkan sepeda motor membaca dan menulis bisa diibaratkan bensin dan motor, kalau diibaratkan pasangan sejati membaca dan menulis diibaratkan seperti Romeo dan Juliet. Di awal tadi sedikit disinggung bahwa buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya. Dengan mambaca khazanah wawasan dan pengetahuan kita menjadi berkembang. Sedangkan menulis adalah menuangkan khazanah wawasan dan pengetuan kita ke dalam bentuk tulisan.
Dengan demikian membaca adalah satu proses awal yang tidak bisa ditinggalkan dalam menulis. Ini adalah kunci kesuksesan kita dalam menulis. Untuk itu mulai sekarang banyak-banyaklah membaca, untuk meningkatkan khazanah pengetahuan kita. Setelah kita memiliki wawasan bagikanlah wawasan tersebut kepada orang supaya orang lain bisa mendapat manfaat dari apa yang telah kita tulis.
Ada lima tingkatan menulis yaitu:

1. Timbulnya pemahaman baca tulis(emergent literacy),anak mulai menyadari adanya kegiatan baca tulis,anak mulai menyenangi jika ada orang melakukan baca tulis.semula anak hanya memandangi tapi lama kelamaan ia akan mencoba menirukan .Anak mulai memegang pensil,kemudian mencoret –coret pada kertas atau media lain.Tulisan yang dihasilkan pada tahap ini memang belum bermakna,tetapi pada diri anak sudah timbul rasa menyenangi kegiatan tersebut>Supaya tahap ini dapat timbul pada diri anak maka diharapkan sebelum memulai melatih menulis anak dikenalkan pada berbagai bahan bacaan ataupun tulisan yang dapat memberikan gambaran awal pada proses penulisan

2. Menulis permulaan (beginning writing).Kegiatan ini biasa disebut dengan hand writing, yaitu cara merealisasikan simbol- simbol bunyi dan cara menulisnya dengan baik.Tingkatan ini terkait dengan strategi atau cara mewujudkan simbol-simbol bunyi bahasa menjadi huruf- huruf yang dapat dikenali secara konkret.

3. Pembinaan kelancaran menulis (building fluency).pada tahap ini symbol-simbol bunyi bahasa misalnya huruf-huruf yang telah dikenali secara konkret mulai dihubung-hubungkan lebih lanjut menjadi kesatuan yang lebih besar dan memiliki makna

4. Menulis untuk kesenangan dan belajar (writing for pleasure /reading to learn),sudah timbul kesenangan pada diri anak akan perlunya menulis,pada tahap ini anak melakukan kegiatan menulis dengan tujuan –tujuan tertentu yang disengaja misalnya mencatat pelajaran,mencatat kegiatan dibuku harian,menulis surat untuk teman dan sebagainya.Pada tingkatan ini anak sudah dapat menikmati kegiatan menulisnya

5. Menulis matang ( mature writing) pada tahap ini anak sudah mampu menuangkan dan mengekspresikan pikiran dan perasaannya melalui tulisan dengan baik ia telah mampu memilih kata dengan tepat,menyusun kalimat dengan runtut,dan mengembangkan paragraf dengan baik,tahap inilah yang memberikan kebebasan berekspresi pada anak untuk menghasilkan tulisan – tulisan kreatif yang sangat mencengangkan hasilnya
Dari kelima tingkatan menulis tersebut secara sederhana biasanya dikelompokan menjadi 2 tingkatan yaitu menulis permulaan dan menulis lanjut.
Tujuan menulis permulaan adalah agar siswa dapat menulis kata-kata dan kalimat sederhana dengan tepat.Pada menulis permulaan siswa diharapkan untuk dapat memproduksi tulisan dapat dimulai dengan tulisan eja. Contoh tulisan e,d,f,k,j,dan dapat berupa suku kata seperti su-ka,ma-ta,ha-rus, lu-kaserta dalam bentuk kalimat sederhana.Seperti halnya membaca permulaan,menulis permulaan juga dapat menggunakan metode-metode seperti metode abjad, metode suku kata, metdeglobal dan metode SAS. Menulis permulaan (dengan huruf kecil) di kelas 1SD tujuannya siswa memahami cara menulis permulaan dengan ejaan yang benar dan mengkomunikasikan ide/pesan secara tertulis,materi pelajaran menulis permulaan dikelas 1SD disajikan secara bertahap dengan menggunakan pendekatan huruf,suku kata,kata-kata atau kalimat.Menulis permulaan (dengan huruf besar pada awal kalimat) di kelas II tujuannya siswa memahami cara menulis permulaan dengan ejaan yang benar dan mengkomunikasikan ide /pesan secara tertulis,untuk memperkenalkan cara menulis huruf besar di kelas II SD mempergunakan pendekatan spiral maksudnya huruf demi huruf diperkenalkan secara berangsur-angsur sampai pada akhirnya semua huruf dikuasai oleh para siswa.
Tujuan menulis lanjut adalah agar siswa mampu menuangkan pikiran dan perasaannya dengan bahasa tulis secara teratur dan teliti.Yang membedakan menulis permulaan dengan menulis lanjut adalah adanya kemampuan untuk mengembangkan skema yang ada yang telah diperoleh sebelumnya untuk lebih mengembangkan hal-hal yang akan ditulis.


BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Buta aksara adalah ketidakmampuan seseorang untuk membaca dan menulis. Indonesia mempunyai banyak masyarakat yang masih buta huruf.  Angka buta aksara di Indonesia masih tergolong tinggi mengingat banyaknya angka putus sekolah serta masyarakat yang belum mampu untuk membiayai sekolah. Pemerintah sendiri mempunyai berbagai cara untuk mengurangi angka buta aksara di Indonesia. Cara yang ditempuh dapat dilaksanakan melalui program sekolah gratis, bekerjasama dengan dinas pendidikan maupun ormas lain untuk memberikan diklat khusus kepada penyandang buta aksara, mengurangi jumlah anak yang tidak bersekolah, dll
Namun banyak sekali kendala yang dihadapi pemerintah untuk memberantas buta aksara mulai dari peserta didik sampai kepada anggaran biaya untuk kegiatan tersebut.

5.2 Saran
Seharusnya pemerintah harus lebih tegas dalam merancang sebuah program agar pada akhirnya suatu program dapat terlaksana dengan baik. Selain itu, pemerintah harus bekerjasama dengan pihak lain agar angka buta aksara di Indonesia dapat berkurang. Harus ditambahnya tenaga pengajar dan diberikan pelatihan-pelatihan lagi. Semua pihak harus ikut berpartisipasi. Apalagi pihak akademisi harus berperan aktif untuk mremberantas masalah buta aksara ini, misalnya mahasiswa harus mengajar satu orang yang buta aksara.


DAFTAR RUJUKAN

1.       Permana,Heru Hairudin. 2011.Buta Huruf.http://herhaiper.blogspot.com/2011/06/buta-huruf.html. ( Diakses pada tanggal 16 Juni 2013 )

2.      Yuliana.2007.Buta Aksara di Indonesia. http://yuliartikel.blogspot.com/2007/11/buta-aksara-di-indonesia.html. ( Diakses pada tanggal 16 Juni 2013 )

3.      Wilastinova, Reny Fatma. 2011. Upaya Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia. http://renyfatma.wordpress.com/2011/04/13/upaya-pemberantasan-buta-aksara-di-indonesia/. (  Diakses pada tanggal 16 Juni 2013 )

4.      Ratman, Dadang Rizki. 2011. Persentase Pemuda yang Buta Aksara Menurut Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Tipe Daerah (2009). http://kppo.bappenas.go.id/preview/236.  ( Diakses pada tanggal 16 Juni 2013 )

5.      “Pemberantasan Buta Aksara di Indonesia Belum Merata”.    Metrotvnews 8 September 2012. http://www.metrotvnews.com/read/newsvideo/2012/09/08/159044/Pemberantasan-Buta-Aksara-di-Indonesia-Belum-Merata. ( Diakses pada tanggal 16 Juni 2013 )

6.      “Gejolak Buta Huruf di Indonesia “http://aiiuphiiu07.blogspot.com/2012/11/makalah-gejolak-buta-huruf-di-indonesia.html. ( Diakses pada tanggal 16 Juni 2013 )

7.      “ Keaksaraan Fungsional “ http://92putrimedan-sitiativa.blogspot.com/2011/11/keaksaraan-fungsional.html. (Diakses pada tanggal  27 Juni 2013 )

8.      “Membaca dan Menulis sebagai ilmu Komunikasi“ http://ucuagustin.blogspot.com/2004/06/menulis-sebagai-ilmu-komunikasi.html. (Diakses pada tanggal 27 Juni 2013)

9.      “Kebijakan Pemerintas dalam Memberantas Buta Huruf“ http://mediawidya.blogspot.com/2013/01/kebijaksanaan-pemerintah-dalam-upaya.html ( Diakses Pada tanggal 27 Juni 2013)

10.  “Buta  Huruf” http://herhaiper.blogspot.com/2011/06/buta-huruf.html (Di akses pada tanggal 27 Juni 2013)
11.  “Cara Kreatif dan Peran Mahasiswa dalam Mengurangi Buta Huruf  http://haney-pnf69.blogspot.com/2011/06/cara-kreatif-dan-peran-mahasiswa-dalam.html (Diakses pada Tanggal 27 Juni 2013 )
12.  “ Ayo Membaca dan Menulis ”http://aceh.tribunnews.com/2012/03/17/ayo-membaca-dan-menulis ( Diakses pada Tanggal 27 Juni 2013)
13.  “Mengajari Masyarakat Membaca ”http://bintangsitepu.wordpress.com/2010/10/17/dari-masyarakat-membaca-ke-masyarakat-belajar/ (Diakses pada Tanggal 27 Juni 2013)
14.  “Pembelajaran Menulis” http://pembelajaranmenulis.blogspot.com/ (Diakses pada Tanggal 27 Juni 2013)




1 komentar: